Jumat, 03 Januari 2014



Wonosobo dan Buah Maja

      Kota di wilayah Jawa Tengah di bagian tengah yaitu Temanggung - Wonosobo. Jawa Tengah bagian tengah ini rata-rata berudara sejuk. Kehidupannya didominasi oleh pertanian. Tata kotanya cukup menarik dan rapi. Di sana juga banyak peninggalan-peninggalan Hindu.

      Kota Wonosobo didirikan 24 Juli 1825, tidak lama setelah Perang Jawa (Perang Diponegoro) selesai. Sebagai bupati pertamanya, diangkatlah seorang pembantu Pangeran Diponegoro yaitu Kyai Mohammad Ngampah yang kemudian berjuluk Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Setjonegoro. Pendirian Kabupaten Wonosobo tentunya tercatat rapi dalam dokumentasi Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat.

       Konon, alasan dinamakan Wonosobo adalah terinspirasi dari cerita Mahabarata yaitu Wanaparwa dan Sabhaparwa. Sabhaparwa adalah kisah kelicikan Kaurawa yang mengalahkan Pandawa dalam permainan Dadu sehingga Yudistira dan adik-adiknya kehilangan segalanya dan terpaksa dibuang ke hutan. Sedangkan Wanaparwa adalah kelanjutan dari kisah Sabhaparwa adalah bagaimana Pandawa menjalani 12 tahun pengasingannya di dalam hutan.

      Wonosobo memang erat kaitannya dengan agama hindu walaupun pendiriannya dilakukan jauh setelah Islam menjadi agama resmi kerajaan Mataram (Islam). Hal ini jelas dilihatkan oleh penamaan beberapa tempat seperti pegunungan Dieng yang diambil dari kata “Dang” dan “Hyang”. Yang artinya Sang Dewa. Belum lagi, di pegunungan Dieng juga terdapat lima buah candi yang dinamakan sesuai dengan nama tokoh Pandawa. Kemungkinan juga masih banyak candi hindu lainnya di daerah tersebut.

       Nama Wonosobo kembali muncul di jagad maya lantaran ada pendapat yang mengatakan bahwa Wonosobo dan bahkan Indonesia adalah Negerinya Ratu Bilqis di jaman Nabi Raja Sulaiman. Bahkan penemu teori tersebut menghubung-hubungkan Wonosobo dengan Petilasan Ratu Boko di Sleman dan Candi Borobudur di Magelang.

       Studi komprehensif dari setiap unsur yang hendak dilibatkan dalam sebuah teori besar semacam itu tentulah sangat diperlukan. Tidak serta merta dari satu sumber saja lalu mencari kemiripan dengan hal-hal yang sedikit saja, seperti nama tempat dan buah maja.

    Tentang buah maja saja, penggagas teori ini seolah-olah tidak mau mencicipinya sehingga langsung mengatakan bahwa maja itu pahit (Majapahit). Padahal secara umum, maja itu seperti jeruk yaitu manis.

     Maja (Aegle marmelos (L.) Correa, suku jeruk-jerukan atau Rutaceae) adalah tumbuhan berbentuk pohon yang tahan lingkungan keras tetapi mudah luruh daunnya dan berasal dari daerah Asia tropika dan subtropika. Tanaman ini biasanya dibudidayakan di pekarangan tanpa perawatan dan dipanen buahnya. Maja masih berkerabat dekat dengan kawista. Di Bali dikenal sebagai bila. Di Pulau Jawa, maja sering kali dipertukarkan dengan berenuk, meskipun keduanya adalah jenis yang berbeda.

        Tanaman ini mampu tumbuh dalam kondisi lingkungan yang keras, seperti suhu yang ekstrem; misalnya dari 49°C pada musim kemarau hingga -7 °C pada musim dingin di Punjab (India), pada ketinggian tempat mencapai +1.200m. Di Asia Tenggara, maja hanya dapat berbunga dan berbuah dengan baik jika ada musim kering yang kentara, dan tidak biasa dijumpai pada elevasi di atas 500 m. Maja mampu beradaptasi di lahan berawa, di tanah kering, dan toleran terhadap tanah yang agak basa (salin).

       Warna kulit luar buah maja berwarna hijau tetapi isinya berwarna kuning atau jingga. Aroma buahnya harum dan cairannya manis, bertentangan dengan anggapan orang bahwa rasa buah maja adalah pahit. Sebagaimana jeruk, buah maja dapat diolah menjadi serbat, selai, sirop, atau nektar. Kulitnya dibuat marmalade.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar