TraDisi JaWa
ADAT ISTIADAT JAWA
(manusia Jawa sejak dalam kandungan sampai wafat)
Lahir dan mendewasakan anak
MUPU, artinya mungut anak, yang secara magis diharapkan dapat menyebabkan hamilnya si Ibu yang memungut anak, jika setelah sekian waktu dirasa belum mempunyai anak juga atau akhirnya tidak mempunyai anak. Orang Jawa cenderung memungut anak dari sentono (masih ada hubungan keluarga), agar diketahui keturunan dari siapa dan dapat diprediksi perangainya kelak yang tidak banyak menyimpang dari orang tuanya.
MUPU, artinya mungut anak, yang secara magis diharapkan dapat menyebabkan hamilnya si Ibu yang memungut anak, jika setelah sekian waktu dirasa belum mempunyai anak juga atau akhirnya tidak mempunyai anak. Orang Jawa cenderung memungut anak dari sentono (masih ada hubungan keluarga), agar diketahui keturunan dari siapa dan dapat diprediksi perangainya kelak yang tidak banyak menyimpang dari orang tuanya.
Syarat sebelum mengambil keputusan mupu anak, diusahakan agar
mencari pisang raja sesisir yang buahnya hanya satu, sebab menurut
gugon tuhon (takhayul yang berlaku) jika pisang ini dimakan akan
nuwuhaken (menyebabkan) jadinya anak pada wanita yang memakannya.
Anhinga, bisa dimungkinkan hamil, dan tidak harus memungut anak.
Pada saat si
Ibu hamil, jika mukanya tidak kelihatan bersih dan secantik biasanya,
disimpulkan bahwa anaknya adalah laki-laki, dan demikian sebaliknya jika
anaknya perempuan.
Sedangkan di
saat kehamilan berusia 7 (tujuh) bulan, diadakan hajatan nujuhbulan
atau mitoni. Disiapkanlah sebuah kelapa gading yang digambari wayang
dewa Kamajaya dan dewi Kamaratih(supaya si bayi seperti Kamajaya jika
laki-laki dan seperti Kamaratih jika perempuan), kluban/gudangan/uraban
(taoge, kacang panjang, bayem, wortel, kelapa parut yang dibumbui, dan
lauk tambahan lainnya untuk makan nasi),dan rujak buah.
Disaat para
Ibu makan rujak, jika pedas maka dipastikan bayinya nanti laki-laki.
Sedangkan saat di cek perut si Ibu ternyata si bayi senang
nendang-nendang, maka itu tanda bayi laki-laki.
Lalu para
Ibu mulai memandikan yang mitoni disebut tingkeban, didahului Ibu
tertua, dengan air kembang setaman (air yang ditaburi mawar, melati,
kenanga dan kantil), dimana yang mitoni berganti kain sampai 7 (tujuh) kali. Setelah selesai baru makan nasi urab, yang jika terasa pedas maka si bayi diperkirakan laki-laki.
Kepercayaan orang Jawa bahwa anak pertama sebaiknya laki-laki, agar bisa mendem jero lan
mikul duwur (menjunjung derajat orang tuanya jika ia memiliki kedudukan
baik di dalam masyarakat). Dan untuk memperkuat keinginan itu, biasanya
si calon Bapak selalu berdo’a memohon kepada Tuhan.
Slametan
pertama berhubung lahirnya bayi dinamakan brokohan, yang terdiri
dari nasi tumpeng dikitari uraban berbumbu pedas tanda si bayi
laki-laki) dan ikan asin goreng tepung, jajanan pasar berupa ubi rebus,
singkong, jagung, kacang dan lain-lain, bubur merah-putih, sayur lodeh
kluwih/timbul agar linuwih (kalau sudah besar terpandang). Ketika bayi
berusia 5 (lima)
hari dilakukan slametan sepasaran, dengan jenis makanan sama dengan
brokohan. Bedanya dalam sepasaran rambut si bayi di potong sedikit
dengan gunting dan bayi diberi nama, misalnya bernama T. Dewantoro.
Saat diteliti di almanak Jawa tentang wukunya, ternyata T. Dewantoro berwuku tolu, yakni wuku ke-5 dari rangkaian wuku yang berjumlah 30 (tiga puluh). Menurut wuku tolu maka T.Dewantoro berdewa Batara Bayu, ramah-tamah walau bisa berkeras hati, berpandangan luas,cekatan dalam menjalankan tugas serta ahli di bidang pekerjaannya, kuat bergadang hingga pagi, pemberani, banyak rejekinya, dermawan, terkadang suka pujian dan sanjungan yang berhubungan dengan kekayaannya.
Saat diteliti di almanak Jawa tentang wukunya, ternyata T. Dewantoro berwuku tolu, yakni wuku ke-5 dari rangkaian wuku yang berjumlah 30 (tiga puluh). Menurut wuku tolu maka T.Dewantoro berdewa Batara Bayu, ramah-tamah walau bisa berkeras hati, berpandangan luas,cekatan dalam menjalankan tugas serta ahli di bidang pekerjaannya, kuat bergadang hingga pagi, pemberani, banyak rejekinya, dermawan, terkadang suka pujian dan sanjungan yang berhubungan dengan kekayaannya.
Slametan
selapanan yaitu saat bayi berusia 35 (tiga puluh lima) hari, yang pada
pokoknya sama dengan acara sepasaran. Hanya saja disini rambut bayi
dipotong habis, maksudnya agar rambut tumbuh lebat. Setelah ini, setiap
35 (tiga puluh lima) hari berikutnya diadakan acara peringatan yang sama
saja dengan acara selapanan sebelumnya, termasuk nasi tumpeng dengan
irisan telur ayam rebus dan bubur merah-putih.
Peringatan
tedak-siten/tujuhlapanan atau 245 (dua ratus empat puluh lima) hari
sedikit istimewa, karena untuk pertama kali kaki si bayi diinjakkan ke
atas tanah. Untuk itu diperlukan kurungan ayam yang dihiasi sesuai
selera. Jika bayinya laki-laki, maka di dalam kurungan juga diberi
mainan anak-anak dan alat tulis menulis serta lain-lainnya (jika si bayi
ambil pensil maka ia akan menjadi pengarang, jika ambil buku berarti
suka membaca, jika ambil kalung emas maka ia akan kaya raya, dan
sebagainya) dan tangga dari batang pohon tebu untuk dinaiki si bayi tapi
dengan pertolongan orang tuanya. Kemudian setelah itu si Ibu melakukan
sawuran duwit (menebar uang receh) yang diperebutkan para tamu dan
anak-anak yang hadir agar memperoleh berkah dari upacara tedak siten.
Setelah si
anak berusia menjelang sewindu atau 8 (delapan) tahun, belum juga
mempunyai adik, maka perlu dilakukan upacara mengadakan wayang kulit
yang biasa acara semacam ini dinamakan ngruwat agar bebas dari marabahaya Biasanya tentang cerita Kresno Gugah yang dilanjutkan dengan cerita Murwakala.
Saat
menjelang remaja, tiba waktunya ditetaki/khitan/sunat. Setibanya di
tempat sunat (dokter atau dukun/bong), sang Ibu menggendong si anak ke
dalam ruangan seraya mengucapkan kalimat : laramu tak sandang kabeh
(sakitmu saya tanggung semua).
Orang Jawa
kuno sejak dulu terbiasa menghitung dan memperingati usianya dalam
satuan windu, yaitu setiap 8 (delapan) tahun. Peristiwa ini dinamakan
windon, dimana untuk windu pertama atau sewindu, diperingati dengan
mengadakan slametan bubur merah-putih dan nasi tumpeng yang diberi 8
(delapan) telur ayam rebus sebagai lambang usia. Tapi peringatan harus
dilakukan sehari atau 2 (dua) hari setelah hari kelahiran, yang diyakini
agar usia lebih panjang. Kemudian saat peringatan 2 (dua) windu, si
anak sudah dianggap remaja/perjaka atau jaka,suaranya ngagor-agori
(memberat). Saat berusia 32 (tiga puluh dua ) tahun yang biasanya sudah
kawin dan mempunyai anak, hari lahirnya dirayakan karena ia sudah hidup
selama 4 (empat) windu, maka acaranya dinamakan tumbuk alit (ulang tahun
kecil). Sedangkan ulang tahun yang ke 62 (enam puluh dua) tahun disebut
tumbuk ageng.
Saat dewasa,
banyak congkok atau kasarnya disebut calo calon isteri, yang membawa
cerita dan foto gadis. Tapi si anak dan orang tuanya mempunyai banyak
pertimbangan yang antara lain: jangan mbokongi (menulang-punggungi sebab
keluarga si gadis lebih kaya) walau ayu dan luwes karena perlu mikir
praja (gengsi), jangan kawin dengan sanak-famili walau untuk nggatuake
balung apisah(menghubungkan kembali tulang-tulang terpisah/mempererat
persaudaraan) dan bergaya priyayi karena seandainya cerai bisa terjadi
pula perpecahan keluarga, kalaupun seorang ndoro (bangsawan) tapi jangan
terlalu tinggi jenjang kebangsawanannya atau setara dengan si anak
serta sederhana dan menarik hati. Lagi pula si laki-laki sebaiknya harus
gandrung kapirangu (tergila-gila/cinta).
Melamar
Bapak dari
anak laki-laki membuat surat lamaran, yang jika disetujui maka biasanya
keluarga perempuan membalas surat sekaligus mengundang kedatangan
keluarga laki-laki guna mematangkan pembicaraan mengenai lamaran dan
jika perlu sekaligus merancang segala sesuatu tentang perkawinan.
Setelah
ditentukan hari kedatangan, keluarga laki-laki berkunjung ke keluarga
perempuan dengan sekedar membawa peningset, tanda pengikat guna
meresmikan adanya lamaran dimaksud. Sedangkan peningsetnya yaitu 6
(enam) kain batik halus bermotif lereng yang mana tiga buah berlatar
hitam dan tiga buah sisanya berlatar putih, 6 (enam) potong bahan kebaya
zijdelinnen dan voal berwarna dasar aneka, serta 6 (enam) selendang
pelangi berbagai warna dan 2 (dua) cincin emas berinisial huruf depan
panggilan calon pengantin berukuran jari pelamar dan yang dilamar (kelak
dipakai pada hari perkawinan). Peningset diletakkan di atas nampan
dengan barang-barang tersebut dalam kondisi tertutup.
Orang yang
pertama kali mengawinkan anak perempuannya dinamakan mantu sapisanan
atau mbuka kawah, sedang mantu anak bungsu dinamakan mantu regil atau
tumplak punjen.
Perkawinan
Orang Jawa
khususnya Solo, yang repot dalam perkawinan adalah pihak perempuan,
sedangkan pihak laki-laki hanya memberikan sejumlah uang guna membantu
pengeluaran yang dikeluarkan pihak perempuan, di luar terkadang ada
pemberian sejumlah perhiasan, perabot rumah maupun rumahnya sendiri.
Selain itu saat acara ngunduh (acara setelah perkawinan dimana yang
membuat acara pihak laki-laki untuk memboyong isteri ke rumahnya), biaya
dan pelaksana adalah pihak laki-laki, walau biasanya sederhana.
Dalam
perkawinan harus dicari hari “baik”, maka perlu dimintakan pertimbangan
dari ahli hitungan hari “baik” berdasarkan patokan Primbon Jawa. Setelah
diketemukan hari baiknya, maka sebulan sebelum akad nikah, secara fisik
calon pengantin perempuan disiapkan untuk menjalani hidup perkawinan,
dengan diurut dan diberi jamu oleh ahlinya. Ini dikenal dengan istilah
diulik, yaitu mulai dengan pengurutan perut untuk menempatkan rahim
dalam posisi tepat agar dalam persetubuhan pertama dapat diperoleh
keturunan, sampai dengan minum jamu Jawa yang akan membikin tubuh ideal
dan singset.
Selanjutnya
dilakukan upacara pasang tarub (erat hubungannya dengan takhayul) dan
biasanya di rumah sendiri (kebiasaan di gedung baru mulai tahun 50-an),
dari bahan bambu serta gedek/bilik dan atap rumbia yang di masa sekarang
diganti tiang kayu atau besi dan kain terpal. Dahulu pasang tarub
dikerjakan secara gotong-royong, tidak seperti sekarang. Dan lagi pula
karena perkawinan ada di gedung, maka pasang tarub hanya sebagai
simbolis berupa anyaman daun kelapa yang disisipkan dibawah genting.
Dalam upacara pasang tarub yang terpenting adalah sesaji. Sebelum pasang
tarub harus diadakan kenduri untuk sejumlah orang yang ganjil
hitungannya (3 – 9 orang). Do’a oleh Pak Kaum dimaksudkan agar hajat di
rumah ini selamat, yang bersamaan dengan ini ditaburkan pula kembang
setaman, bunga rampai di empat penjuru halaman rumah, kamar mandi, dapur
dan pendaringan (tempat menyimpan beras), serta di perempatan dan
jembatan paling dekat dengan rumah. Diletakkan pula sesaji satu ekor
ayam panggang di atas genting rumah. Bersamaan itu pula rumah dihiasi
janur, di depan pintu masuk di pasang batang-batang tebu, daun
alang-alang dan opo-opo, daun beringin dan lain-lainnya, yang bermakna
agar tidak terjadi masalah sewaktu acara berlangsung. Di kiri kanan
pintu digantungkan buah kelapa dan disandarkan pohon pisang raja lengkap
dengan tandannya, perlambang status raja.
Siraman (pemandian)
Dilakukan sehari sebelum akad nikah,
dilakukan oleh Ibu-ibu yang sudah berumur serta sudah mantu dan atau
lebih bagus lagi jika sudah sukses dalam hidup, disiramkan dari atas
kepala si calon pengantin dengan air bunga seraya ucapan “semoga selamat
di dalam hidupnya”. Seusai upacara siraman, makan bersama berupa nasi
dengan sayur tumpang (rebusan sayur taoge serta irisan kol dan kacang
panjang yang disiram bumbu terbuat dari tempe dan tempe busuk yang
dihancurkan hingga jadi saus serta diberi santan, salam, laos serta daun
jeruk purut yang dicampuri irisan pete dan krupuk kulit), dengan
pelengkap sosis dan krupuk udang.
Midodareni
Adalah malam sebelum akad nikah, yang terkadang saat ini dijadikan satu dengan upacara temu. Pada malam midodareni sanak saudara dan para tetangga dekat datang sambil bercakap-cakap dan main kartu sampai hampir tengah malam, dengan sajian nasi liwet (nasi gurih karena campuran santan, opor ayam, sambel goreng, lalab timun dan kerupuk).
Adalah malam sebelum akad nikah, yang terkadang saat ini dijadikan satu dengan upacara temu. Pada malam midodareni sanak saudara dan para tetangga dekat datang sambil bercakap-cakap dan main kartu sampai hampir tengah malam, dengan sajian nasi liwet (nasi gurih karena campuran santan, opor ayam, sambel goreng, lalab timun dan kerupuk).
Upacara akad nikah, harus
sesuai sangat (waktu/saat yang baik yang telah dihitung berdasarkan
Primbon Jawa) dan Ibu-Ibu kedua calon pengantin tidak memakai
subang/giwang (untuk memperlihatkan keprihatinan mereka sehubungan
dengan peristiwa ngentasake/mengawinkan anak, yang sekarang jarang
diindahkan yang mungkin karena malu). Biasanya acara di pagi hari,
sehingga harus disediakan kopi susu dan sepotong kue serta nasi
lodopindang (nasi lodeh dengan potongan kol, wortel, buncis, seledri dan
kapri bercampur brongkos berupa bumbu rawon tapi pakai santan) yang
dilengkapi krupuk kulit dan sosis. Disaat sedang sarapan, Penghulu
beserta stafnya datang, ikut sarapan dan setelah selesai langsung
dilakukan upacara akad nikah.
Walau akad
nikah adalah sah secara hukum, tetapi dalam kenyataannya masih banyak
perhatian orang terpusat pada upacara temu, yang terkadang menganggap
sebagai bagian terpenting dari perayaan perkawinan. Padahal sebetulnya
peristiwa terpenting bagi calon pengantin adalah saat pemasangan cincin
kawin, yang setelah itu Penghulu menyatakan bahwa mereka sah sebagai
suami-isteri. Temu adalah upacara adat dan bisa berbeda walau tak seberapa besar untuk setiap daerah tertentu, misalnya gaya Solo dan gaya Yogya.
Misalnya
dalam gaya Solo, di hari “H”nya, di sore hari. Tamu yang datang paling
awal biasanya sanak-saudara dekat, agar jika tuan rumah kerepotan bisa
dibantu. Lalu tamu-tamu lainnya, yang putri langsung duduk bersila di
krobongan, dengan lantai permadani dan tumpukan bantal-bantal (biasanya
bagi keluarga mampu), sedang yang laki-laki duduk di kursi yang tersusun
berjajar di Pendopo (sekarang ini laki-laki dan perempuan bercampur di
Pendopo semuanya). Para penabuh gamelan tanpa berhenti memainkan gending
Kebogiro, yang sekitar 15 (lima belas) menit menjelang kedatangan
pengantin laki-laki dimainkan gending Monggang. Tapi saat pengantin
beserta pengiring sudah memasuki halaman rumah/gedung, gending berhenti,
dan para tamu biasanya tahu bahwa pengantin datang. Lalu tiba di
pendopo, ia disambut dan dituntun/digandeng dan diiringi para orang-tua
masih sejawat orang tuanya yang terpilih
Sementara
itu, pengantin perempuan yang sebelumnya sudah dirias dukun nganten
(rambut digelung dengan gelungan pasangan, dahi dan alis di kerik
rambutnya, dsb.nya) untuk akad nikah, dirias selengkapnya lagi di dalam
kamar rias. Lalu setelah siap, ia dituntun/digandeng ke pendopo oleh dua
orang Ibu yang sudah punya anak dan pernah mantu, ditemukan dengan
pengantin laki-laki (waktu diatur yaitu saat pengantin pria tiba di
rumah/gedung, pengantin perempuan pun juga sudah siap keluar dari kamar
rias), dengan iringan gending Kodokngorek. Sedangkan pengantin laki-laki
dituntun ke arah krobongan.
Ketika
mereka sudah berjarak sekitar 2 (dua) meter, mereka saling melempar
dengan daun sirih yang dilipat dan diikat dengan benang, yang siapa saja
melempar lebih kena ke tubuh diartikan bahwa dalam hidup perkawinannya
akan menang selalu. Lalu yang laki-laki mendekati si wanita yang berdiri
di sisi sebuah baskom isi air bercampur bunga. Di depan baskom di
lantai terletak telur ayam, yang harus diinjak si laki-laki sampai
pecah, dan setelah itu kakinya dibasuh dengan air bunga oleh si wanita
sambil berjongkok. Kemudian mereka berjajar, segera Ibu si wanita
menyelimutkan slindur/selendang yang dibawanya ke pundak kedua pengantin
sambil berucap: Anakku siji saiki dadi loro (anakku satu sekarang
menjadi dua). Selanjutnya mereka dituntun ke krobongan, dimana ayah dari
pengantin perempuan menanti sambil duduk bersila, duduk di pangkuan
sang ayah sambil ditanya isterinya: Abot endi Pak ? (berat mana Pak ?),
yang dijawab sang suami: Pada dene (sama saja). Selesai tanya jawab,
mereka berdiri, si laki-laki duduk sebelah kanan dan si perempuan
sebelah kiri, dimana si dukun pengantin membawa masuk sehelai tikar
kecil berisi harta (emas, intan, berlian) dan uang pemberian pengantin
laki-laki yang dituangkan ke tangan pengantin perempuan yang telah
memegang saputangan terbuka, dan disaksikan oleh para tamu secara
terbuka. Inilah yang disebut kacar-kucur.
Guna lambang
kerukunan di dalam hidup, dilakukan suap-menyuap makanan antara
pengantin. Bersamaan dengan ini, makanan untuk tamu diedarkan (sekarang
dengan cara prasmanan) berurutan satu persatu oleh pelayan. Setelah itu,
dilakukan acara ngabekten (melakukan sembah) kepada orang tua pengantin
perempuan dan tilik nganten (kehadiran orang tua laki-laki ke
rumah/gedung setelah acara temu selesai yang langsung duduk dikrobongan
dan disembah kedua pengantin).
Lalu setelah
itu dilakukan kata sambutan ucapan terima kasih kepada para tamu dan
mohon do’a restu, yang kemudian dilanjutkan dengan acara hiburan berupa
suara gending-gending dari gamelan, misalnya gending ladrang wahana,
lalu tayuban bagi jamannya yang senang acara itu, dsb.nya.
Mati/Wafat
Demikian, sepasang pengantin itu akan mempunyai anak, menjadi dewasa, kemudian mempunyai cucu dan meninggal dunia. Yang menarik tapi mengundang kontraversi, adalah saat manusia mati. Sebab bagi orang Jawa yang masih tebal kejawaannya, orang meninggal selalu didandani berpakaian lengkap dengan kerisnya (ini sulit diterima bagi orang yang mendalam keislamannya), juga bandosa (alat pemikul mayat dari kayu) yang digunakan secara permanen, lalu terbela (peti mayat yang dikubur bersama-sama dengan mayatnya).
Demikian, sepasang pengantin itu akan mempunyai anak, menjadi dewasa, kemudian mempunyai cucu dan meninggal dunia. Yang menarik tapi mengundang kontraversi, adalah saat manusia mati. Sebab bagi orang Jawa yang masih tebal kejawaannya, orang meninggal selalu didandani berpakaian lengkap dengan kerisnya (ini sulit diterima bagi orang yang mendalam keislamannya), juga bandosa (alat pemikul mayat dari kayu) yang digunakan secara permanen, lalu terbela (peti mayat yang dikubur bersama-sama dengan mayatnya).
Sebelum
mayat diberangkatkan ke alat pengangkut (mobil misalnya), terlebih
dahulu dilakukan brobosan (jalan sambil jongkok melewati bawah mayat)
dari keluarga tertua sampai dengan termuda.
Sedangkan
meskipun slametan orang mati, mulai geblak (waktu matinya), pendak siji
(setahun pertama), pendak loro (tahun kedua) sampai dengan nyewu (seribu
hari/3 tahun) macamnya sama saja, yaitu sego-asahan dan segowuduk, tapi
saat nyewu biasanya ditambah dengan memotong kambing untuk disate dan
gule.
Nyewu
dianggap slametan terakhir dengan nyawa/roch seseorang yang wafat
sejauh-jauhnya dan menurut kepercayaan, nyawa itu hanya akan datang
menjenguk keluarga pada setiap malam takbiran, dan rumah dibersihkan
agar nyawa nenek moyang atau orang tuanya yang telah mendahului ke alam
baka akan merasa senang melihat kehidupan keturunannya bahagia dan
teratur rapi. Itulah, mengapa orang Jawa begitu giat memperbaiki dan
membersihkan rumah menjelang hari Idul fitri yang dalam bahasa Jawanya
Bakdan atau Lebaran dari kata pokok bubar yang berarti selesai
berpuasanya.
PRONOTO MONGSO
(Aturan Waktu Musim)
Pranata
Mangsa atau aturan waktu musim biasanya digunakan oleh para
petani pedesaan, yang didasarkan pada naluri saja, dari leluhur
yang sebetulnya belum tentu dimengerti asal-usul dan bagaimana
uraian satu-satu kejadian di dalam setahun. Walau begitu
bagi para petani tetap dipakai dan sebagai patokan untuk
mengolah pertanian. Uraian mengenai Pranata Mangsa ini diambil
dari sejarah para raja di Surakarta, yang tersimpan di musium
Radya-Pustaka.
Menurut
sejarah, sebetulnya baru dimulai tahun 1856, saat kerajaan
Surakarta diperintah oleh Pakoeboewono VII, yang memberi
patokan bagi para petani agar tidak rugi dalam bertani, tepatnya dimulai tanggal 22 Juni 1856, dengan urut-urutan :
- Kasa, mulai 22 Juni, berusia 41 hari. Para petani membakar dami yang tertinggal di sawah dan di masa ini dimulai menanam palawija, sejenis belalang masuk ke tanah, daun-daunan berjatuhan. Penampakannya/ibaratnya : lir sotya (dedaunan) murca saka ngembanan (kayu-kayuan).
- Karo, mulai 2 Agustus, berusia 23 hari. Palawija mulai tumbuh, pohon randu dan mangga, tanah mulai retak/berlubang. Penampakannya/ibaratnya : bantala (tanah) rengka (retak).
- Katiga, mulai 25 Agustus, berusia 24 hari. Musimnya/waktunya lahan tidak ditanami, sebab panas sekali, yang mana Palawija mulai di panen, berbagai jenis bambu tumbuh. Penampakannya/ibaratnya : suta (anak) manut ing Bapa (lanjaran).
- Kapat, mulai 19 September, berusia 25 hari. Sawah tidak ada (jarang) tanaman, sebab musim kemarau, para petani mulai menggarap sawah untuk ditanami padi gaga, pohon kapuk mulai berbuah, burung-burung kecil mulai bertelur. Penampakannya/ibaratnya : waspa kumembeng jroning kalbu (sumber).
- >Kalima, mulai 14 Oktober, berusia 27 hari. Mulai ada hujan, selokan sawah diperbaiki dan membuat tempat mengalir air di pinggir sawah, mulai menyebar padi gaga, pohon asem mulai tumbuh daun muda, ulat-ulat mulai keluar. Penampakannya/ibaratnya : pancuran (hujan) emas sumawur (hujannya)ing jagad.
- Kanem, mulai 10 Nopember, berusia 43 hari. Para petani mulai menyebar bibit tanaman padi di pembenihan, banyak buah-buahan (durian, rambutan, manggis dan lain-lainnya), burung blibis mulai kelihatan di tempat-tempat berair. Penampakannya/ibaratnya : rasa mulya kasucian (sedang banyak-banyaknya buah-buahan).
- Kapitu, mulai 23 Desmber, usianya 43 hari. Benih padi mulai ditanam di sawah, banyak hujan, banyak sungai yang banjir. Penampakannya/ibaratnya : wisa kentar ing ing maruta (bisa larut dengan angin, itu masanya banyak penyakit).
- Kawolu, mulai 4 Pebruari, usianya 26 hari, atau 4 tahun sekali 27 hari. Padi mulai hijau, uret mulai banyak. Penampakannya/ibaratnya : anjrah jroning kayun (merata dalam keinginan, musimnya kucing kawin).
-
Kasanga, mulai 1 Maret, usianya 25 hari. Padi mulai berkembang dan sebagian sudah berbuah, jangkrik mulai muncul, kucing mulai kawin, cenggeret mulai bersuara. Penampakannya/ibaratnya : wedaring wacara mulya ( binatang tanah dan pohon mulai bersuara).
- Kasepuluh, mulai 26 Maret, usianya 24 hari. Padi mulai menguning, mulai panen, banyak hewan hamil, burung-burung kecil mulai menetas telurnya. Penampakannya/ibaratnya : gedong minep jroning kalbu (masa hewan sedang hamil).
- Desta, mulai 19 April, berusia 23 hari. Seluruhnya memane n padi. Penampakannya/ibaratnya: sotya (anak burung) sinara wedi (disuapi makanan).
- Saya, mulai 12 Mei, berusia 41 hari. Para petani mulai menjemur padi dan memasukkan ke lumbung. Di sawah hanya tersisa dami. Penampakannya/ibaratnya : tirta (keringat) sah saking sasana (badan) (air pergi darisumbernya, masa ini musim dingin, jarang orang berkeringat, sebab sangat dingin).
Demikian uraian singkat tentang Pranata Mangsa, yang jika dikaitkan dengan kondisi saat ini, hal tersebut diatas tentunya harus dicocokkan secara ilmiah, kondisi alam, kemajuan teknologi, dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar